:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5128589/original/003822600_1739253452-20250211_112428.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Salah satu energi baru terbarukan yang coba didorong oleh pemerintah saat ini adalah hidrogen. Namun, teknologi ramah lingkungan ini belum bisa diaplikasikan secara masif di Tanah Air karena masih menghadapi berbagai tantangan yang harus diselesaikan.
Selain masalah infrastruktur yang masih minim, harga untuk bahan bakar hidrogen ini masih terbilang mahal. Bahkan, salah satu pabrikan otomotif raksasa dunia, Toyota yang cukup masif mendorong teknologi hidrogen, hingga saat ini belum meluncurkan modelnya di pasar Tanah Air.
“Hitungan kami, kalau bisa Rp 80 ribu per kg atau lebih murah, itu mungkin konsumen akan switch ke kendaraan hidrogen,” ujar Indra Chandra Setiawan, Engineering Management Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), saat ditemui di Karawang, Jawa Barat belum lama ini.
Sebelumnya, Hary Devianto, ASEAN Eng; Deputy 1 di Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy mengatakan, saat ini untuk harga 1 kg hidrogen di pasar global masih di atas US$ 5.
Targetnya, untuk hidrogen bisa dijual massal, dan jadi pilihan konsumen, banderolnya harus bisa hanya US$ 1 per 1 kg.
“1 kg hidrogen untuk 100 km, itu kan sudah terbukti. Nah, target berikutnya adalah US$ 1 per kg untuk bisa terjangkau untuk bisa dijual,” tegas Hary.
Sementara itu, Toyota sendiri memang mengklaim mobil hidrogen produksinya mampu menempuh jarak 100 km, hanya dengan 1 kg bahan bakar.
Namun, jika perbandingannya dengan bahan bakar bersubsidi seperti Pertalite atau Biosolar, yang memang telah disubsidi pemerintah, hingga mencapai Rp 10 ribu dan Rp 6.800 masing-masing, maka akan cukup sulit untuk hidrogen bisa bersaing.
“Di Indonesia, ini kadang dibandingkan dengan sesuatu yang disubsidi, lebih sulit lagi apabila bicara TCO (total cost of ownership),” tegas Indra.
Peran Pemerintah
Indra juga mengatakan, pentingnya peran pemerintah untuk mendorong pengembangan energi baru, termasuk dukungan fiskal.
Pasalnya, jika tidak ada insentif yang dibutuhkan bagi sebuah teknologi baru, seperti hidrogen maka akan sulit bersaing dan mencapai skala ekonomi yang dibutuhkan.
“New technology pasti butuh new investment. Di beberapa negara, ada mekanisme di mana negara ikut bantuin investasi awal, misalnya capex-nya disubsidi. Tapi kalau bahan bakar fosil yang sudah skala ekonominya besar terus jadi pembanding,” tukasnya.
… Selengkapnya