:strip_icc():format(webp):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,540,20,0)/kly-media-production/medias/4209225/original/016552300_1667196664-IMG_20220819_103113.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Harga mobil baru di Indonesia dikenakan berbagai pajak dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Tidak hanya itu, saat sudah memiliki kendaraan, pemilik harus dikenakan berbagai pajak yang wajib dibayarkan.
Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memberikan contoh, ketika mobil baru keluar dari pabrik, katakan harganya adalah Rp 100 juta, namun jika sudah ditawarkan kepada konsumen, banderolnya melonjak menjadi Rp 150 juta.
“Rp 50 juta itu pajak. Ini mungkin yang menjadi salah satu kendala di kita,” ujar Kukuh, di Jakarta.
Lanjut Kukuh, dirinya juga sempat berbicara di forum internasional, dan dikomplain dari Amerika. “Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang pajak mobilnya paling tinggi. Setelah Singapura, saya kaget,” tegas Kukuh.
Lebih lanjut Kukuh memberikan gambaran lain, contoh Toyota Avanza di Malaysia, pajak tahunannya tidak sampai Rp 1 juta.
Sedangkan di Indonesia, bisa mencapai Rp 4 juta. Kemudian, di Negeri Jiran juga, tidak ada pajak kendaraan lima tahunan, sedangkan di Indonesia hukumnya wajib atau menjadi sebuah keharusan.
Selain itu, ada juga Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) yang harus dibayar oleh pemilik mobil Avanza di Malaysia hanya Rp500 ribuan, sedangkan pemilik mobil yang sama di Tanah Air wajib mengeluarkan biaya hingga Rp2 juta.
“Kalau itu (pajak) dikurangi, kan lumayan atau dibikin lebih rasional. Kita (Indonesia) perlu punya benchmark. Kita dengan Malaysia yang GDP (Gross Domestic Product) lebih tinggi, pajaknya lebih murah. Jadi perlu dievaluasi, kalau harganya di Rp100 juta masa pantas sih menjadi Rp150 juta, nilai tambah apa yang didapat dari mobil yang ditambahkan pajak tadi,” terang Kukuh.
Mobil Barang Mewah
Sementara itu, Kukuh juga mengatakan, mobil di Indonesia masih tergolong sebagai barang mewah. Padahal, jika untuk kendaraan roda empat dengan harga Rp 300 juta atau di bawah Rp 400 juta itu sudah menjadi bagian dari hidup konsumennya.
“Karena dipakai untuk mencari nafkah (mobil Rp 300 juta hingga di bawah Rp 400 juta). Jadi, saatnya kita mengevaluasi, masih layakkah kita menimpakan pajak, ketambahan nilai barang mewah untuk mobil tertentu, kenapa sepatu tidak dianggap barang mewah,” jelasnya.
“Memang sepatu enggak ada yang mewah, tas ada ratusan juta, tapi sekali bayar pajak itu selesai. Kalau mobil tiap tahun bayar pajak terus. Belum lagi kalau yang ada pajak progresif,” tukasnya.
… Selengkapnya